Beranda

Lodoyo: Jejak Rimba Mataram, Pusaka Abadi, dan Raja Harimau

Lodoyo: Jejak Rimba Mataram, Pusaka Abadi, dan Raja Harimau
Ilustrasi Kedaton Macan di Lodoyo sebuah hutan lebat di selatan Afdeeling Blitar (kini Kabupaten Blitar) (ai/io)

Selami misteri Lodoyo, hutan keramat Blitar tempat Mataram menancapkan jejak pangeran terbuang dan pusaka sakral. Kisah harimau jadi-jadian, bende keramat, dan spiritualitas Jawa yang tak lekang waktu.

INDONESIAONLINE – Di jantung Jawa, di antara gemuruh babad dan hiruk-pikuk keraton, tersembunyi bisikan rimba yang tak kalah perkasa. Bukan sekadar hamparan pepohonan, melainkan kanvas mitos, dendam sejarah, dan gema auman harimau jadi-jadian yang memahat ingatan kolektif masyarakat.

Salah satu legenda paling memikat itu bersemayam di Lodoyo, sebuah hutan lebat di selatan Afdeeling Blitar (kini Kabupaten Blitar), yang hingga abad ke-19 masyhur sebagai ‘kedaton macan’ – kerajaan harimau dengan aura mistis yang menyelimuti.

Lodoyo bukan hanya titik geografis di peta, melainkan tapal batas imajiner antara dunia manusia dan jagat gaib. Ia adalah persembunyian tokoh buangan dari Suroloyo, pusat pusaka keramat berupa bende (gong) dan wayang, sekaligus benteng spiritual yang menjadikan macan bukan hanya predator rimba, melainkan perwujudan dendam sejarah dan kekuatan tak kasat mata.

Artikel ini mengajak kita menelusuri lapisan-lapisan kisah Lodoyo, membaca narasi mitologis dalam konteks sosial-politik Jawa abad ke-17 hingga ke-19, dan menemukan bagaimana hutan ini merefleksikan ketakutan, harapan, serta strategi bertahan masyarakat Jawa yang tak pernah padam.

Asal-Usul Lodoyo: Pohon Elo Doyong dan Pengasingan dari Suroloyo

Jauh sebelum peta modern terlukis, nama Lodoyo telah merangkum kisah pilu seorang penggawa Suroloyo. Naskah kuno Babad Alit mengisahkan: ana punggawané Déwa Suralaya kasiku ditundhung saka Suralaya, disèlèh alas gedhé kang ana uwité elo gedhé lan wis doyong – seorang abdi Suralaya dibuang ke hutan lebat di bawah pohon elo yang besar dan doyong (miring/condong).

Pohon itulah yang kemudian menjadi penanda, memberi nama Lodoyo, gabungan dari elo dan dhoyong, sebuah epitaf bagi pengasingan dan ketidakseimbangan.

Nama Suroloyo sendiri menyingkap dua lapis makna. Secara geografis, ia menunjuk puncak sakral di perbukitan Menoreh, Magelang, yang sejak lama dipercaya sebagai negeri para dewa atau “Suralaya di atas awan.” Namun, dalam kosmologi politik Mataram Islam, Suroloyo juga merujuk pada kekuasaan keraton.

Tradisi lisan mengidentifikasi tokoh yang diusir itu sebagai seorang pangeran Mataram yang memberontak pada masa awal abad ke-18, bahkan dikaitkan dengan Pangeran Prabu yang diasingkan oleh Sunan Pakubuwana I (1704–1719).

Sejarawan M.C. Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia Since c. 1200 sering menggambarkan pola ini: para pangeran yang kalah dalam perebutan takhta kerap disingkirkan ke wilayah terpencil, lalu dikenang sebagai tokoh keramat atau penunggu gaib.

Dengan demikian, Lodoyo adalah lanskap pengasingan, tempat di mana kekuasaan yang terbuang menjelma menjadi kekuatan spiritual yang tak bisa dipadamkan.

Pusaka Keramat: Bende dan Wayang, Simbol Kosmos dan Kekuasaan

Sang penggawa tak berlayar ke pengasingan dengan tangan hampa. Ia membawa serta dua pusaka yang kelak menjadi denyut jantung spiritual Blitar: sebuah bende, gong perunggu yang menggetarkan kosmos, dan sebuah wayang, cermin bayangan kehidupan dan legitimasi kekuasaan.

Tradisi tutur menceritakan, pusaka itu disimpan di sebuah sanggar tersembunyi jauh di dalam hutan. Harimau jadi-jadian, lahir dari ilmu ajian sang penggawa, ditugaskan menjaganya. Konon, barang siapa berani mengambilnya tanpa izin, niscaya akan diterkam hingga mati.

Pusaka bende dan wayang ini bukan sekadar benda antik. Dalam budaya Jawa, gong adalah lambang kosmos, suara jagat raya yang menyatukan dunia gaib dan dunia nyata. Wayang adalah medium pengajaran moral, panggung epik, sekaligus instrumen legitimasi politik para penguasa.

Dengan menempatkan keduanya di Lodoyo, masyarakat Jawa menegaskan bahwa hutan itu bukan sekadar ruang liar, melainkan panggung kosmologis yang dijaga macan sebagai pengawal gaib – representasi kekuasaan alternatif yang berakar pada spiritualitas.

Ajian Macan: Dari Mantra ke Kekuatan Politik Bayangan

Inti kisah Lodoyo berdenyut pada ajian untuk menjadi macan. Sang penggawa Suroloyo konon mengajarkan rapal mantra kepada sepasang orang tua miskin yang tinggal di dekat hutan. Dengan ilmu itu, mereka bisa berubah wujud menjadi macan, memudahkan mencari makan tanpa harus bekerja di sawah.

Namun, ada syarat: mereka wajib menjaga pusaka bende dan wayang, serta mengumpulkan harimau liar dari luar Lodoyo untuk menetap di hutan itu. Dari sinilah, dipercaya, lahir komunitas harimau jadi-jadian, penjaga sanggar Lodoyo yang tak kasat mata.

Di balik mitos ini, tersimpan makna sosial-politik yang dalam. Harimau dalam budaya Jawa adalah simbol kekuasaan, kegagahan, keberanian, sekaligus ancaman yang tak terduga. Dengan menisbatkan ajian macan pada Lodoyo, masyarakat membangun narasi bahwa kekuatan politik yang terbuang dari keraton tidak pernah benar-benar lenyap.

Ia masih hidup dalam bentuk lain: sebagai energi liar, ganas, dan sulit dikendalikan. Lodoyo, dengan demikian, menjadi representasi “politik bayangan Mataram,” yakni kekuatan alternatif di luar istana yang justru ditakuti dan dihormati.

Tradisi Nyanggaraké: Hukum Gaib Melindungi Harta

Seiring waktu, Lodoyo bukan hanya dikenal sebagai hutan angker, melainkan juga sebagai “bank spiritual” tempat penitipan barang. Praktik ini disebut nyanggaraké. Orang Jawa yang memiliki barang berharga menitipkannya secara simbolis di sanggar Lodoyo.

Caranya sederhana. Barang dibawa ke sanggar, diletakkan di atas bende dan wayang, lalu pemilik berdoa: “Kyai, barang kula punika kula andhèrèk titip ing sanggaran, pangreksanipun sumangga.”

Setelah itu dibakar kemenyan, disiapkan sesaji, serta diberikan uang upah kepada juru kunci. Barang kemudian dibawa pulang, namun secara spiritual dianggap telah “dititipkan” di Lodoyo.

Jika barang itu kemudian dicuri, maka pencurinya dipercaya akan dikejar harimau Lodoyo. Bila tidak segera mengembalikan, ia akan diterkam hingga mati.

Tradisi ini memperlihatkan bagaimana hukum gaib menggantikan hukum negara. Dalam masyarakat Jawa pra-modern, terutama di pelosok yang belum terjangkau aparat kolonial, sistem spiritual seperti ini menjadi cara efektif melindungi harta benda, menegakkan keadilan dengan ancaman supernatural yang nyata.

Lodoyo sebagai Kedaton Macan: Populasi dan Kepercayaan

Karena praktik tersebut, Lodoyo dikenal sebagai kedatoné macan, yakni kerajaan macan. Bukan hanya macan liar, melainkan macan jadi-jadian yang berasal dari ajian manusia.

Mitos menyebut, harimau Lodoyo tidak boleh dibunuh. Jika ada yang berani membunuhnya, “sing duwé amasthi ngamuk,” pemilik gaibnya pasti mengamuk. Akibatnya, orang Jawa enggan mengganggu apalagi membunuh macan Lodoyo.

Hingga abad ke-19, laporan kolonial Belanda memang menyebut Blitar selatan masih dipenuhi harimau. Afdeeling Blitar, Residentie Kediri, dicatat sebagai salah satu wilayah dengan populasi macan terbesar di Jawa.

Tidak mustahil, reputasi Lodoyo sebagai kedaton macan turut memperkuat keengganan penduduk untuk berburu harimau, sehingga populasi macan terus bertambah hingga mencapai ratusan ekor, menjadi fakta biologis yang selaras dengan kepercayaan mistis.

Konteks Sosial-Politik: Lodoyo dan Perlawanan Jawa

Mengapa Lodoyo begitu penting dalam imajinasi sejarah Jawa? Untuk menjawabnya, kita harus menempatkan Lodoyo dalam pusaran konflik besar awal abad ke-18, ketika Jawa dilanda perang suksesi, perebutan pusaka keraton, dan intervensi VOC yang semakin mencengkeram Kartasura.

Masa itu bukan hanya soal siapa yang duduk di takhta, melainkan juga siapa yang menguasai pusaka kerajaan seperti tombak Kyai Baru, Kyai Gondil, dan keris Kyai Belabar, yang menjadi nadi legitimasi Mataram.

Ketika Amangkurat III dikudeta oleh pamannya, Pangeran Puger yang kelak bergelar Pakubuwana I, pusaka-pusaka tersebut ikut dibawa lari. Dari Kartasura, ia bergerak menuju Blitar, lalu Malang, hingga Pasuruan. Pada titik inilah Lodoyo tampil sebagai simpul penting dalam perjalanan sejarah itu.

Mitos lokal tentang punggawa Suroloyo atau Pangeran Prabu yang singgah di Lodoyo, membawa bende dan wayang pusaka, lalu menjalani hidup dalam keterbuangan, memberi dua kemungkinan tafsir sejarah.

Pertama, ia adalah pengikut Amangkurat III yang mundur bersama rombongan sang raja sambil membawa pusaka agung yang tertinggal. Kedua, ia merupakan tokoh yang dibuang oleh Pakubuwana I, bagian dari strategi politik untuk menyingkirkan lawan agar tidak lagi mengklaim wahyu kekuasaan.

Ini sejalan dengan analisis De Graaf dan Pigeaud dalam Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa mengenai fragmentasi kekuasaan dan pengasingan politik di Mataram.

Hingga kini, jejak pusaka itu masih berdenyut di tanah Blitar. Sebuah gong sakral, diyakini sebagai bagian dari peninggalan itu, disimpan di Lodoyo, seolah menjadi saksi bisu persinggahan para pengikut Amangkurat III.

Sementara itu, wayang krucil tetap dijaga di Desa Bendosari, Kecamatan Kademangan, sekitar lima belas kilometer ke selatan dari Lodoyo. Kehadiran benda-benda ini bukan sekadar peninggalan budaya, melainkan juga penanda sejarah, bahwa Blitar pernah menjadi persinggahan penting dalam arus besar perebutan takhta Mataram.

Tradisi setempat memperkuat makna itu melalui ritual jamasan, yakni penyucian pusaka dengan air kembang. Wayang krucil Kyai Bonto dijamas setiap bulan Syawal dan Maulud di Dusun Pakel, Desa Kebonsari, sebagai bentuk penghormatan kepada Pangeran Prabu yang diyakini membawa pusaka tersebut ke wilayah Blitar.

Ribuan warga hadir, berharap memperoleh berkah dari air bekas cucian wayang. Sementara itu, Gong Kyai Pradah di Alun-Alun Lodoyo dimandikan pada 1 Syawal dan 12 Rabiul Awal, sebuah tradisi yang telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia sejak tahun 2019. Ritual ini dipercaya membawa berkah, menyembuhkan penyakit, sekaligus menjadi magnet wisata dan penggerak ekonomi lokal.

Apa pun asal-usul pastinya, Lodoyo dalam memori rakyat bertransformasi menjadi kedaton macan, sebuah dunia gaib tempat dendam politik tidak mati melainkan berubah rupa. Harimau jadi-jadian yang menjaga pusaka di Lodoyo adalah metafora dari eksistensi eksil politik yang kalah perang. Mereka boleh tersingkir dari istana, tetapi dalam imajinasi rakyat tetap hadir sebagai kekuatan tandingan yang mengawasi keadilan.

Dengan demikian, Lodoyo tidak hanya hutan wingit di Blitar Selatan, melainkan arsip budaya yang menyimpan trauma perebutan pusaka Kartasura. Kisah punggawa Suroloyo atau Pangeran Prabu yang singgah di Lodoyo menjadi penanda bahwa di sinilah sejarah dan mitos bertemu.

Fakta tentang pusaka yang hilang di tangan VOC berpadu dengan legenda pusaka gaib yang dijaga macan Lodoyo. Dalam benturan itulah, ingatan Jawa tentang kekalahan, pengkhianatan, dan kesetiaan terus menyala.

Warisan: Makam Sentono Lodoyo, Simpul Sejarah dan Spiritual

Kisah Lodoyo, dengan segala lapis mitos dan sejarahnya, bukanlah dongeng yang beku. Ia hidup, berdenyut dalam ziarah dan ritual di Makam Sentono Lodoyo, yang berdiri di utara Alun-Alun Lodoyo. Kompleks makam ini adalah tempat peristirahatan terakhir bagi sejumlah tokoh penting yang mengikat Blitar dengan sejarah besar Jawa.

Di antara nama yang tercatat adalah Pangeran Prabu, putra Keraton Surakarta yang diyakini sebagai pembawa Gong Kyai Pradah sekaligus tokoh penyebar Islam di kawasan ini. Kehadirannya meneguhkan kaitan antara Lodoyo dan narasi politik-ekspansi spiritual Mataram.

Selain Pangeran Prabu, terdapat pula tokoh-tokoh lain: Ki Ageng Imam Sampurno, penasihat Keraton Surakarta; Ki Ageng Ronggo Lodoyo atau Kiai Muhammad Badri, seorang Wedono Lodoyo; serta Raden Sutojoyo, cikal bakal Kelurahan Sutojayan.

Makam ini juga menyimpan garis keturunan besar lain, mulai dari dzurriyah Pangeran Diponegoro hingga keturunan Sunan Tembayat Klaten seperti Kiai Ragil Siddiq dan Mbah Boinem.

Makam Sentono Lodoyo dengan demikian menjadi warisan hidup yang menautkan Blitar dengan mitos Punggowo Suroloyo dan pusaka Mataram. Ia berfungsi sebagai ruang pertemuan antara jejak politik Mataram, spiritualitas Islam Jawa, dan ingatan rakyat yang terus dirawat melalui ritual, pusaka, serta tradisi ziarah, menegaskan bahwa sejarah tak pernah benar-benar mati, ia hanya bersembunyi dalam legenda dan menunggu untuk ditelusuri kembali (ar/dnv).


Referensi:

  1. Babad Alit: (Sumber Tradisi Lisan dan Naskah Lokal Blitar).

  2. De Graaf, H. J., & Pigeaud, Th. G. Th. (1985). Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram. PT Pustaka Utama Grafiti. (Untuk konteks politik Mataram dan pola pengasingan).

  3. Ricklefs, M. C. (2008). A History of Modern Indonesia Since c. 1200. Stanford University Press. (Untuk konteks sejarah Mataram, perang suksesi, dan intervensi VOC).

  4. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2019). Warisan Budaya Tak Benda Indonesia: Jamasan Gong Kyai Pradah. (Dokumentasi penetapan WBTB).

  5. Laporan Kolonial Belanda Abad ke-19: (Arsip Belanda yang menyebut populasi harimau di Afdeeling Blitar. Dapat diverifikasi melalui sumber-sumber seperti Algemeen Verslag der Residentie Kediri atau literatur sejarawan kolonial).

  6. Tradisi Lisan dan Keterangan Juru Kunci Lokal: (Informasi terkait asal-usul nama, ajian macannyanggaraké, dan detail pusaka yang saat ini disimpan).

Exit mobile version